Powered By Blogger

Wednesday, August 14, 2013

Keputusan-Nya

Keputusan-Nya
Oleh: Anung D’Lizta
                Empat hari terakhir sebelum ramadhan berlalu. Seperti harapanku—majikan akan mengajak untuk berbuka bersama. Biasanya majikan mengajakku berbuka di daerah Geylang—lalu berbelanja baju raya baru. Namun hari sabtu itu—dugaanku meleset. Majikanku mengajak berbuka puasa di Pagi Sore restoran. Cukup senang tapi ada rasa was-was. Karena majikanku sedang sakit; batuk.
Setelah selesai berbuka—majikanku akhirnya membawaku ke daerah Paya Lebar—pasar malam. Di pasar malam—cukup membingungkan mencari stall temanku yang jualan baju. Setelah muter-muter mencari kedainya yang tidak ketemu juga, akhirnya mataku menangkap baju kebaya yang indah menurutku. Akhirnya aku tunjukan ke majikanku dan membelinya.
Sedang mencoba kebaya itu, tiba-tiba aku dikagetkan dengan kehadiran temanku yang berjualan baju. Setelah membayar kebaya itu—akupun mampir ke stall-nya dan membeli kerudung. Majikanku juga membeli brosh cantik. Temanku yang berjualan itu sampai memuji majikanku.
“Majikanmu baik sekali yah …”
“Ya iyalah, kalau nggak baik, nggak mungkin aku bertahan selama dua belas tahun.”
Belum selesai dengan mutar-mutar di pasar malam, aku dan majikan mampir ke stall penjual brosh. Aku sempat tercengang dengan harganya yang menurutku mahal sekali. Dan kembali majikanku memilihkan brosh warna ungu kesukaanku; seharga $15. Terimakasih ya Allah, dengan keberkahan di bulan ramadhan-Mu.
Hanya tinggal beberapa hari lagi, aku akan merasakan baju baru untuk lebaran. Aku pun kian semangat dalam menjalani hari-hari terakhir di bulan ramadhan. Walau sebenarnya hatiku sedang bingung menantikan uangku kembali yang dipinjam oleh seorang penyair—yang jumlahnya tidak sedikit.
                                                             ~**~
Syukur Alhamdulillah, hari-hari bisa kulalui dengan kebingungan hati. Aku merasa puasaku di tahun ini terasa hambar. Bahkan aku merasa kurang mendapatkan pahala. Tapi aku tetap berprasangka baik kepada Allah sehingga aku masih bisa merayakan hari lebaran di usiaku yang sudah dua puluh tujuh tahun. Masih dengan suasana lebaran seperti tahun-tahun sebelumnya; sendiri di rantauan. Itu berarti, aku sudah merayakan lebaran ke dua belas tahun di negeri Singapura. Dengan satu majikan yang sama namun pemandangan yang berbeda.
                Pagi itu di suasana takbir yang membuat mataku menahan buliran air mata. Bayangkan saja, sudah hampir satu jam aku menunggu taksi untuk ke KBRI Singapura—melaksanakan salat idul fitri tapi tidak ada satupun taksi yang mau mengangkut diriku. Aku berdiri lelah sambil berdoa kepada Allah SWT.
“Ya Allah, hadirkanlah taksi untuk menuju rumah-Mu dan melaksanakan salat idul fitri.’’  Saat air mataku hampir tumpah, karena sudah pukul delapan, ada satu taksi yang berhenti. Lalu supir taksi berbangsa China itu bertanya.
“Mau ke mana?’’
“Ke Indonesia Embessy …”
“Oh, sorry … nggak bisa.”
Kakiku lemas seketika. Kalau setengah jam lagi aku tidak sampai di KBRI itu berarti aku tidak bisa melaksanakan salat idul fitri. Aku pasrahkan saja pada keputusan Allah SWT karena Dia lebih tahu hatiku saat itu.
Tiba-tiba kudengar suara memanggilku.
“Dik, Adik, oklah saya antar kamu ke embassy, lebaran begini susah untuk mendapatkan taksi.’’
Hatiku berjingkrak-jingkrak senang sekali. Supir taksi itu kembali untuk mengantarkanku. Akhirnya, aku bisa tersenyum dan mengucapkan syukur terimakasih kepada Allah SWT atas keputusan-Nya, telah  membolehkanku salat idul fitri. Aku juga berdoa semoga supir taksi berwarga China itu mendapatkan berkah.
                                                                          ~**~
                Setelah khusyuk kumelaksanakan salat idul fitri—aku salami sesama jamaah perempuan. Saling menabur maaf-maafan. Jauh dari saudara di kampung tidak menyurutkan kebahagiaan di hari raya. Hidangan yang tersaji juga sudah mengobati rasa kangen suasana hidangan di kampung.
                Bersalaman dan berfoto bersama Duta Besar Republik Indonesia untuk Singapura, Bapak Andri Hadi bersama jajarannya, bersama teman-teman serantauan sampai matahari mulai meninggi. Kebahagiaan yang menyejukkan hati.
                Kulanjutkan langkah kaki untuk menuju ke Botanic Garden setelah dari KBRI. Menunggu taksi lagi yang antriannya panjang sekali. Sandal tinggi kira-kira 10cm membuat kakiku kecapean. Lemas dan sakit berdiri. Namun aku paham, setelah sampai di sana—pasti akan kudapatkan tawa canda penuh keriangan dengan grup Bidadari.
                Namun yang paling sebal adalah dengan ulah dua temanku. Bilangnya sedang on the way tapi nyatanya masih far on the way. Taksi sudah sampai mengantarkanku pada Botanic Garden tapi dua orang itu entah masih berada di mana?
                Sambil menunggu mereka berdua, aku bersama temanku, Meikhan dan Dara, mengambil foto-foto sambil menunggu jenuh dalam penantian yang super lama. Hari itu, hanyalah kebahagiaan yang ingin kurasakan. Meski ada sesuatu yang membuatku tidak nyaman.
                Proses panjang menunggu mereka, hampir satu jam lebih—membosankan bukan kalau menunggu? Kebosanan itu terobati setelah kedua orang itu muncul di tengah suasana lebaran. Di bawah pohon besar—kami saling silahturahmi dan menikmati hidangan ala kadarnya. Ada pecel, sayur asem, lontong, sayur kering dan kerupuk. Yang sayangnya, sambal terasinya ketinggalan di rumah.
                Somplak bin edan, itulah yang kerap mejuluki kami. Aku, Elyana, Yuni dan Meikhan. Cukup untukku mengerti, bahwa tidak perlu banyak teman untuk mendapatkan kebahagiaan. Persahabatan itu cukup seperti adanya bukan ada apanya. Saling mengerti dan memahami. Karena itulah kunci persahabatan yang indah.
                Senja semakin membingkai di langit tua. Elyana dan temannya—melanjutkan hari lebarannya dengan teman lainnya dibeda lokasi. Sementara Meikhan dengan pujaan hatinya. Yuni dan suaminya—berkunjung ke rumah majikanku.
                Di kamar tempatku merebahkan punggungku kami ngobrol dan bercerita tentang hari depan. Merayakan hari pernikahan yang kedua di Singapura—Yuni dan suaminya; membuatku iri dengan kemesraan mereka.
                Berkah dan penuh harapan baru di tahun lebaran ini. Malam itu juga sebelum aku tidur—majikanku memberikanku amplop merah berisi koin $1 baru Singapura. Aku masih menyimpannya karena sayang untuk kugunakan. Maklumlah masih keluaran uang baru.
                “Mum, why all new coin …?’’
                “Hahh, why?” sambil tersenyum majikanku.
                “So sayang lahh, to use it …”
                “Keep one only,  can what …’’
                Dan entahlah, aku akan tega menggunakan uang itu atau tidak. Sampai sekarang masih kusimpan dalam amplop merah.
                Terimakasih yah Allah, atas karunia-Mu. Walau aku hanya bisa lebaran dengan Mama lewat jaringan telepon tapi aku senang karena Mama, baik-baik saja di gubuk tua; sendiri.
                “Ma, mohon maaf lahir batin. Maafkan anakmu yang banyak salah ini. Insya Allah—lebaran di tahun berikut-berikutnya, kita bisa merayakan bersama.”
                Tak mampu kuberlama-lama mengobrol dengan Mama. Air mataku pasti akan tumpah. Ya Allah, jagalah Mama di sana, berikan kesehatan dan rezeki yang halal. Aamiin Ya Rabbi.
                Untuk grup Bidadari—sukses mengepak ke angkasa luas. Teruslah kompak walau kita kadang somplak dan koplak. Jalinan persahabatan kita semoga kekal selamanya.
                                                                                ~**~

“Tulisan ini diikutkan dalam TjeritaHari Raya yang diselenggarakan oleh @leutikaprio.” 

No comments:

Post a Comment