Keputusan-Nya
Oleh:
Anung D’Lizta
Empat hari terakhir sebelum
ramadhan berlalu. Seperti harapanku—majikan akan mengajak untuk berbuka
bersama. Biasanya majikan mengajakku berbuka di daerah Geylang—lalu berbelanja
baju raya baru. Namun hari sabtu itu—dugaanku meleset. Majikanku mengajak
berbuka puasa di Pagi Sore restoran. Cukup senang tapi ada rasa was-was. Karena
majikanku sedang sakit; batuk.
Setelah selesai berbuka—majikanku akhirnya membawaku
ke daerah Paya Lebar—pasar malam. Di pasar malam—cukup membingungkan mencari stall temanku yang jualan baju. Setelah
muter-muter mencari kedainya yang tidak ketemu juga, akhirnya mataku menangkap
baju kebaya yang indah menurutku. Akhirnya aku tunjukan ke majikanku dan
membelinya.
Sedang mencoba kebaya itu, tiba-tiba aku dikagetkan
dengan kehadiran temanku yang berjualan baju. Setelah membayar kebaya itu—akupun
mampir ke stall-nya dan membeli
kerudung. Majikanku juga membeli brosh cantik. Temanku yang berjualan itu
sampai memuji majikanku.
“Majikanmu baik sekali yah …”
“Ya iyalah, kalau nggak baik, nggak mungkin aku
bertahan selama dua belas tahun.”
Belum selesai dengan mutar-mutar di pasar malam, aku
dan majikan mampir ke stall penjual
brosh. Aku sempat tercengang dengan harganya yang menurutku mahal sekali. Dan
kembali majikanku memilihkan brosh warna ungu kesukaanku; seharga $15.
Terimakasih ya Allah, dengan keberkahan di bulan ramadhan-Mu.
Hanya tinggal beberapa hari lagi, aku akan merasakan
baju baru untuk lebaran. Aku pun kian semangat dalam menjalani hari-hari
terakhir di bulan ramadhan. Walau sebenarnya hatiku sedang bingung menantikan
uangku kembali yang dipinjam oleh seorang penyair—yang jumlahnya tidak sedikit.
~**~
Syukur Alhamdulillah, hari-hari bisa kulalui dengan
kebingungan hati. Aku merasa puasaku di tahun ini terasa hambar. Bahkan aku
merasa kurang mendapatkan pahala. Tapi aku tetap berprasangka baik kepada Allah
sehingga aku masih bisa merayakan hari lebaran di usiaku yang sudah dua puluh
tujuh tahun. Masih dengan suasana lebaran seperti tahun-tahun sebelumnya;
sendiri di rantauan. Itu berarti, aku sudah merayakan lebaran ke dua belas tahun
di negeri Singapura. Dengan satu majikan yang sama namun pemandangan yang
berbeda.
Pagi itu di suasana takbir yang
membuat mataku menahan buliran air mata. Bayangkan saja, sudah hampir satu jam
aku menunggu taksi untuk ke KBRI Singapura—melaksanakan salat idul fitri tapi
tidak ada satupun taksi yang mau mengangkut diriku. Aku berdiri lelah sambil
berdoa kepada Allah SWT.
“Ya Allah, hadirkanlah taksi untuk menuju rumah-Mu dan
melaksanakan salat idul fitri.’’ Saat
air mataku hampir tumpah, karena sudah pukul delapan, ada satu taksi yang
berhenti. Lalu supir taksi berbangsa China itu bertanya.
“Mau ke mana?’’
“Ke Indonesia Embessy …”
“Oh, sorry … nggak bisa.”
Kakiku lemas seketika. Kalau setengah jam lagi aku
tidak sampai di KBRI itu berarti aku tidak bisa melaksanakan salat idul fitri. Aku
pasrahkan saja pada keputusan Allah SWT karena Dia lebih tahu hatiku saat itu.
Tiba-tiba kudengar suara memanggilku.
“Dik, Adik, oklah saya antar kamu ke embassy, lebaran
begini susah untuk mendapatkan taksi.’’
Hatiku berjingkrak-jingkrak senang sekali. Supir taksi
itu kembali untuk mengantarkanku. Akhirnya, aku bisa tersenyum dan mengucapkan
syukur terimakasih kepada Allah SWT atas keputusan-Nya, telah membolehkanku salat idul fitri. Aku juga
berdoa semoga supir taksi berwarga China itu mendapatkan berkah.
~**~
Setelah khusyuk kumelaksanakan
salat idul fitri—aku salami sesama jamaah perempuan. Saling menabur
maaf-maafan. Jauh dari saudara di kampung tidak menyurutkan kebahagiaan di hari
raya. Hidangan yang tersaji juga sudah mengobati rasa kangen suasana hidangan di
kampung.
Bersalaman dan berfoto bersama
Duta Besar Republik Indonesia untuk Singapura, Bapak Andri Hadi bersama
jajarannya, bersama teman-teman serantauan sampai matahari mulai meninggi.
Kebahagiaan yang menyejukkan hati.
Kulanjutkan langkah kaki untuk
menuju ke Botanic Garden setelah dari KBRI. Menunggu taksi lagi yang antriannya
panjang sekali. Sandal tinggi kira-kira 10cm membuat kakiku kecapean. Lemas dan
sakit berdiri. Namun aku paham, setelah sampai di sana—pasti akan kudapatkan
tawa canda penuh keriangan dengan grup Bidadari.
Namun yang paling sebal adalah
dengan ulah dua temanku. Bilangnya sedang on
the way tapi nyatanya masih far on
the way. Taksi sudah sampai mengantarkanku pada Botanic Garden tapi dua
orang itu entah masih berada di mana?
Sambil menunggu mereka berdua,
aku bersama temanku, Meikhan dan Dara, mengambil foto-foto sambil menunggu
jenuh dalam penantian yang super lama. Hari itu, hanyalah kebahagiaan yang
ingin kurasakan. Meski ada sesuatu yang membuatku tidak nyaman.
Proses panjang menunggu mereka,
hampir satu jam lebih—membosankan bukan kalau menunggu? Kebosanan itu terobati
setelah kedua orang itu muncul di tengah suasana lebaran. Di bawah pohon besar—kami
saling silahturahmi dan menikmati hidangan ala kadarnya. Ada pecel, sayur asem,
lontong, sayur kering dan kerupuk. Yang sayangnya, sambal terasinya ketinggalan
di rumah.
Somplak bin edan, itulah yang kerap mejuluki kami. Aku, Elyana,
Yuni dan Meikhan. Cukup untukku mengerti, bahwa tidak perlu banyak teman untuk
mendapatkan kebahagiaan. Persahabatan itu cukup seperti adanya bukan ada
apanya. Saling mengerti dan memahami. Karena itulah kunci persahabatan yang
indah.
Senja semakin membingkai di
langit tua. Elyana dan temannya—melanjutkan hari lebarannya dengan teman
lainnya dibeda lokasi. Sementara Meikhan dengan pujaan hatinya. Yuni dan
suaminya—berkunjung ke rumah majikanku.
Di kamar tempatku merebahkan
punggungku kami ngobrol dan bercerita tentang hari depan. Merayakan hari
pernikahan yang kedua di Singapura—Yuni dan suaminya; membuatku iri dengan
kemesraan mereka.
Berkah dan penuh harapan baru di
tahun lebaran ini. Malam itu juga sebelum aku tidur—majikanku memberikanku
amplop merah berisi koin $1 baru Singapura. Aku masih menyimpannya karena
sayang untuk kugunakan. Maklumlah masih keluaran uang baru.
“Mum, why all new coin …?’’
“Hahh, why?” sambil tersenyum
majikanku.
“So sayang lahh, to use it …”
“Keep one only, can what …’’
Dan entahlah, aku akan tega
menggunakan uang itu atau tidak. Sampai sekarang masih kusimpan dalam amplop
merah.
Terimakasih yah Allah, atas
karunia-Mu. Walau aku hanya bisa lebaran dengan Mama lewat jaringan telepon
tapi aku senang karena Mama, baik-baik saja di gubuk tua; sendiri.
“Ma, mohon maaf lahir batin.
Maafkan anakmu yang banyak salah ini. Insya Allah—lebaran di tahun
berikut-berikutnya, kita bisa merayakan bersama.”
Tak mampu kuberlama-lama
mengobrol dengan Mama. Air mataku pasti akan tumpah. Ya Allah, jagalah Mama di
sana, berikan kesehatan dan rezeki yang halal. Aamiin Ya Rabbi.
Untuk grup Bidadari—sukses mengepak
ke angkasa luas. Teruslah kompak walau kita kadang somplak dan koplak.
Jalinan persahabatan kita semoga kekal selamanya.
~**~
“Tulisan
ini diikutkan dalam TjeritaHari Raya yang diselenggarakan oleh @leutikaprio.”
No comments:
Post a Comment